Wakaf Manfaat
Wakaf Manfaat – Menjadi pemahaman bersama bahwa menjadi rukun wakaf diantaranya adalah harta wakaf yang memiliki nilai dan bentuk. Sehingga timbul kemudian bagaimana manfaat bisa di wakafkan?
Ahli ekonomi melihat manfaat disini adalah utility, dimana manfaat adalah sifat yang tidak bisa dilepaskan dari harta yang dianggap bernilai. Baik manfaat itu berbentuk nyata seperti barang yang bisa disentuh, atau hanya dirasakan. Sehingga manfaat yang melekat pada harta tersebut itulah yang menjadikan sebenarnya memenuhi hajat pemilik harta, bukan dari fisik nyata dari harta tersebut. Artinya, karena pentingnya manfaat dari harta tersebut yang kemudian menjadikan seseorang tertarik untuk memiliki harta itu (al-Mahjub, 1964: 80).
Adapun dalam pandangan Ulama Fiqih, manfaat merupakan sifat yang tertanam dalam zat dan benda yang berbentuk dan nyata, yang menjadikan secara alami zat dan benda tersebut memiliki harga dan nilai. Al-Sy?tibi berkata, bahwa manfaat adalah sesuatu yang memberikan maslahat kepada seseorang dan bukan zat benda tersebut. Fisik dari tanah, rumah, pakaian, atau dirham tidak akan memberikan manfaat atau mudharrat dari fisiknya, namun tanah yang ditanami, rumah yang ditingali, pakaian yang dipakai, dirham yang digunakan untuk transaksi semuanya tergantung dari besar dan kecil manfaat yang didapatkan (al-Sy?tibi, t.th: 166).
Bahkan Jumhur Fuqaha melihat, bahwa manfaat lebih berharga dibandingakan zat dan bendanya itu sendiri (al-Zanz?ni, 1979: 225). Sehingga disimpulkan bahwa manfaat dapat dimiliki seperti barang, karena dapat dimiliki, maka manfaat pun bisa diperjual belikan seperti halnya barang. Sebagaimana dalam fiqih terdapat bab jual beli barang, sama halnya dengan jual beli manfaat yang disebut dengan sewa. Dalam Fiqih manfaat terbagi dua jenis, pertama manfaat yang bernilai materi dan tidak bernilai. Seperti halnya sewa menyewa dan pinjam meminjam.
Hal yang biasa terjadi dalam pelaksanaan wakaf adalah seseorang atau lembaga yang mewakafkan harta yang dimilikinnya kepada penerima wakaf (nadzir), kemudian hasil dari wakaf tersebut dimanfaatkan untuk tujuan yang telah ditentukan. Seperti halnya tanah yang digunakan untuk pertanian yang kemudian menghasilkan, atau dibangun pergedungan untuk penyewaan, atau fasilitas yang memberikan manfaat secara umum dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan manfaat, dimana bendanya tidak menjadi milik wakif.
Secara sederhana dapat dijelaskan dengan ilustrasi yang terjadi di al-Azhar University. Seperti halnya asrama-asrama mahasiswa di Universitas Al-Azhar, beberapa orang yang dermawan menyewa gedung-gedung disekitar al-Azhar dan kemudian memberikannya kepada mahasiswa yang membutuhkannya secara gratis. Model seperti ini dikenal dengan wakaf manfaat. Gedung tersebut tetap menjadi pemiliki sahnya, namun manfaat dari gedung tersebut tidak lagi dapat digunakan, sebab yang memiliki manfaat dari gedung tersebut adalah hak penyewa. Penyewa yang memiliki manfaat gedung ini kemudian diwakafkan kepada mahasiswa yang membutuhkan.
Kesimpulan dari contoh sederhana di atas dapat dikatakan bahwa manfaat yang diwakafkan dapat mendatangkan faidah yang melahirkan kepuasan tersendiri bagi penerima manfaat tersebut. Kepuasan dari wakaf manfaat itu yang kemudian disebut disini sebagai hasil dari wakaf manfaat. Sama halnya seperti wakaf biji-bijian yang kemudian biji tersebut hilang dan berubah menjadi tanaman, kemudian dibelikan kembali biji-bijian baru untuk kemudian diwakafkan dan setersunya berulang-ulang. Biji-bijian tersebut tidak kekal dan hilang bersamaan dengan tumbuhnya tanaman. Maka bila ditanya bentuk bijinya, hanya dalam hitungan waktu sesaat saja, namun bila ditanya hasilnya, terus-menerus dirasakan.
Model wakaf manfaat memang tidak umum terjadi, namun tuntutan perkembangan zaman yang terus berjalan memberikan keterbukaan untuk mengembangkan jenis wakaf sesuai dengan budaya dan sosial kehidupan. Seperti halnya kemajuan teknologi yang digunakan dalam dakwah dan pendidikan yang berkembang melalui dunia jaringan internet. Hingga pada saatnya nanti ada orang-orang yang mewakafkan jaringan, gelombang, transmisi dan lainnya yang tidak memiliki wujud namun bisa diperjual belikan karena memiliki manfaat yang luar biasa. Sehingga asas manfaat yang tinggi tersebut menimbulkan nilai materi besar walaupun tidak dapat dilihat dalam kasat mata.
Pendapat berbeda lainnya, seperti wakaf manusia. Orang-orang yang mengabdi dan ikhlas dalam bekerja pada hakikatnya adalah wakaf manfaat dari keahlian yang dimiliki seseorang tersebut. Anggota badannya tetap menjadi miliknya, namun fungsi dari akal dengan pikirannya, tangan dan kaki dengan tenaga dan karya yang dihasilkannya merupakan manfaat yang diwakafkannya. Jenis wakaf ini manfaat dari manusia ini biasa disebut sebagai wakaf profesi. Seperti profesi guru atau dokter yang menyisihkan waktunya untuk mewakafkan keahliannya untuk mengajarkan ilmunya atau mengobati dengan niat wakaf.
Model-model wakaf seperti ini tentunya tidak asing lagi, melihat perkembangan harta wakaf dari awal berkembangnya wakaf hingga saat ini terus mengalami penambahan-penambahan. Dimana wakaf pada awalnya hanya terbatas pada harta yang tetap saja, kemudian bertambah dengan harta yang dapat dipindahkan, meningkat kembali dengan model wakaf uang, berkembang kembali menjadi wakaf manfaat dan wakaf hak, dan masih terbuka untuk timbulnya jenis wakaf kontemporer lainnya.
Diantara mazahib fiqih yang memperbolehkan wakaf manfaat adalah Malikiyah. Syaikh al-Dar?r dalam bukunya Syarh al-Kab?r li al-Mukhtashar al-Khal?l memperbolehkan secara syara’ model wakaf benda atau manfaat yang dimiliki. Meskipun kepemilikan manfaat tersebut melalui transaksi sewa menyewa dalam waktu yang telah ditentukan, sehingga wakaf tersebut berakhir sesuai dengan berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut. Ibnu Taimiyah juga memperbolehkan wakaf manfaat (al-Das?ki, t.th: 76). Adapun mazhab lainnya yang melihat bahwa manfaat tidak memiliki keterkaitan dengan benda secara langsung, melarang pelaksanaan wakaf manfaat. Diantaranya adalah ulama Syafi’iyyah, sebahagian ulama Hanabilah dan ulama Hanafiyah, dan yang melarang keras adalah al-Dzahiriyah dengan anggapan tidak ada nash yang mendasarinya (Hazm, t.th: 175). Wallahua’lam bi al shawab.
Daftar Pustaka
Al-Mahjub, Rif’at. 1964. Al-Iqtish?d al-Siy?si. Cet. 1. Al-Q?hirah: D?r al-Nahdhah al-Arabiyyah.
Al-Sy?tibi, al-Im?m. T.th. al-Muwaqaf?t. Beirut: D?r al-Ma’rifah.
Al-Zanz?ni, al-Im?m. 1979. Takhr?zul al-Fur?’ ala al-Ush?l. Beirut: Mu’assasah al-Ris?lah.
Al-Das?ki, al-Im?m Ibrah?m. T.th. H?siyatu al-Das?ki ala al-Syarh al-Kab?r. Juz 4. Q?hirah: D?r Ihy?u al-Kutub al-‘Arabiyah.
Hazm, Ibn. T.th. al-Mahall?. Beirut: D?r al-Fikr.