Filosofi Pendidikan Enam Tahun di Trubus Iman
Merujuk kepada hadits Rasulullah SAW: Daripada Umar r.a. katanya: Pada suatu hari kami sedang duduk di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datang kepada kami seorang lelaki yang sangat putih kainnya, sangat hitam rambutnya, tidaklah kelihatan atasnya tanda-tanda orang yang sedang dalam perjalanan, dan tidak seorang pun daripada kami yang mengenalinya sehingga dia duduk berdekatan dengan Rasulullah SAW lalu dia menyandarkan kedua lututnya kepada kedua lutut Rasulullah SAW dan meletakkan kedua telapak tangannya ke atas kedua paha Nabi SAW seraya berkata: “Hai Nabi Muhammad! Khabarkanlah kepadaku apa itu Islam”. Maka Rasulullah SAW menjawab: “Islam itu ialah bahawa engkau mengakui tiada Tuhan melainkan Allah dan bahawasanya Muhammad itu pesuruh Allah, dan engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, mengerjakan haji di Baitullah jika engkau sanggup pergi kepadanya”. Dia berkata: “Benarlah engkau!” Maka kami pun tercengang kerana dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya.
Katanya lagi: “maka kabarkan kepadaku tentang Iman”. Rasulullah SAW menjawab: Iman itu ialah bahawa engkau beriman kepada Allah, dan malaikat-Nya, dan segala kitab-Nya, dan para Rasul-Nya, dan engkau beriman kepada takdir baik-Nya dan jahat-Nya”. Dia berkata: “Benarlah engkau!”
Kemudian dia bertanya lagi: “Maka sekarang kabarkanlah kepadaku apa itu ihsan”. Rasulullah SAW menjawab: “Ihsan ialah bahawa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas penulis menyimpulkan, bahwa Islam, Iman dan Ihsan dalam kehidupan merupakan sebuah trilogi risalah atau ajaran syariat yang diturunkan Allah kepada Malaikat dan Rasulullah SAW. Bila dicermati secara mendalam, dalam praktik kehidupan, Islam adalah pintu utama untuk masuk kedalam derajat iman dan ihsan. Seseorang dikatakan berislam, jika ia telah melaksanakan rukun Islam yang lima yang diikrarkan dengan sebuah pengakuan bahwa ia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah. Siapapun yang lisan dan hatinya percaya hal tersebut, maka cukup lah baginya mendapatkan sebutan seseorang yang berislam, meskipun shalat, puasa, zakat, dan hajinya belum ia tunaikan.
Pemeluk Islam yang sampai pada tahapan ini tidak akan mampu mengapai derajat Iman, sebab keislamannya baru sampai pada kata dan ucapan. Baru pada tataran dan predikat “Muslim”. Perlu ditambah dan dibuktikan dengan melaksanakan rukun-rukun Islam lainnya, shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang memiliki kemampuan dan bekal dalam menjalankannya. Pelaksanaan rukun-rukun tersebut secara berkelanjutan dan istiqomah ini lah yang berpotensi membawa seseorang naik ke dalam tahapan iman Melahirkan kepercayaan dalam hati melalui penempahan diri yang terus-menerus tanpa henti. Hingga pada saatnya tumbuh benih-benih keimanan dalam segumpal daging di dalam jasad, yaitu hati. Pada saat ibadah yang dilaksanakan dengan _jawarih_ atau jasad ini mampu menyatu dengan hati, seiring dan seirama dalam gerak kehidupan, maka tingkatan Islam sudah menjadi Iman. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, malaikat-malaikatnya, kitab-kitab-Nya, Qadha dan Qadarnya, dan iman kepada hari akhir. Maka baginya kedudukan “Mu’min.
Sampai pada tahapan ini, seseorang dapat dikatakan beriman, namun belum mampu mencapai tahap ihsan. Islam dalam trilogi syariat adalah sebuah amalan jasadi atau tubuh, sebab ia dapat terlihat dalam kasat mata. Sebaliknya, iman adalah trilogi syariat hati. Tidak perlu diucapkan, namun dapat dirasakan dalam setiap gerak-gerik kehidupan seseorang. Namun Ihsan, adalah gerak tubuh (baca Islam) yang lahir dari hati (baca Iman) yang memberikan bukti kongkrit terhadap lingkungan disekitarnya. Secara singkat, Islam baru membawa manusia pada tingkat kebaikan, iman merubah seseorang kepada derajat kebenaran, dan Ihsan menciptakan manusia-manusia yang tidak hanya baik dan benar. Tapi manusia yang baik, benar, dan mampu membenarkan bagi sekitarnya. Artinya, Islam dan Iman yang telah teruji dan mampu melewati ujian tersebut, akan melahirkan manusia-manusia muhsin. Manusia-manusia yang solehnya dapat dirasakan bukan hanya untuk dirinya, namun juga masyarakat secara umum. Soolihun linafsihi wa soolihun lighoirihi. Kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Ihsan yang memiliki rasa bahwa segala aktifitas kehidupan dunia apa pun bentuknya selalu dalam pengawasan Sang Maha Pencipta, karena diawali dengan lillahi ta’ala.
Tingkatan-tingkatan di atas ini lah yang menjadi landasan dasar dalam filosofi *trubus*, harus selalu tumbuh dan berkembang. Maka tidak berlebihan bahwa metode pendidikan di Pesantren Trubus Iman, kurikulumnya mengacu pada pembelajaran hadits tentang Islam, Iman dan Ihsan. Sistem pembelajaran tersebut terintegrasi dalam setiap pembelajaran yang dituangkan dalam seluruh mata pelajaran formal dan non formal. Dua tahun pertama adalah pengenalan tentang dasar-dasar ajaran islam, dua tahun kedua adalah pembiasaan seluruh rukun-rukun islam. Sebagaimana Pendiri dan Wakif Trubus Iman yang menyatakan, bahwa kebaikan harus dipaksakan!. Pada tahapan ini, seluruh santri dan Santriwati harus sudah mampu menjaga dirinya sendiri untuk selalu baik dan benar. Namun tahapan tersebut dirasa belum cukup. Perlu penyempurnaan dengan berbagai penugasan-penugasan. Sehingga kebaikan dan kebenaran dirinya juga mampu membearkan bagi lingkungan sekitarnya. Metode ini dijalankan dalam bentuk aktifitas dan kegiatan yang harus dipertanggungjawabkan dalam dua tahun terakhir. Sistem pendidikan 6 tahun dengan sistem pralon. Wallahua’lam.