
Kolam Wakaf dan Generasi Asal Mataram
Budidaya ikan air tawar itu seperti mendidik anak zaman now. Butuh kesabaran, ilmu, dan doa. Karena memelihara ikan bukan sekadar lempar pakan, tunggu panen, dan dapat cuan. Tidak semudah itu, Ferguso!.
Di atas tanah wakaf yang awalnya hanya tanaman, selain kolam tradisional kini digali harapan baru: kolam bioflok. Sistem yang konon katanya modern dan efisien. Tapi jangan salah, di balik kata “efisien”, tersembunyi kerumitan ilmiah yang bikin kening berkerut. Bibit ikan tak bisa asal comot dari sungai. Harus jelas genetika, kualitas indukannya, sampai profil DNA-nya kalau perlu. Karena dari situlah kualitas panen ditentukan.
Belum lagi urusan pakan, air, dan pasar. Semua harus disiapkan sejak awal. Dan sistem bioflok itu? Ah, itu bukan sekadar kolam bulat dan gelembung aerator. Ada tentara mikroba yang harus dilatih sejak dini. Lebih dari hanya sekedar program gubernur Jabar KDM membarakkan anak-anak nakal. Ada bacillus polymyxa, megaterium, coagulans, lactobacillus plantarum, nitrobacter, dan nitrosomonas. Coba sebut satu napas. Susah. Apalagi nyiapinnya.
Untunglah proyek kolam wakaf ini tidak sendirian. Ada tangan muda asal kerajaan Mataram yang sekarang bernama Yogyakarta. Lulusan kampus, jebolan perguruan tinggi, yang memilih turun ke lumpur daripada duduk di ruang ber-AC. Membawa harapan dan ilmu. Juga belum bawa istri. Masih ori. Dengan tangan kotor tapi hati bersih. Wakaf ini bukan hanya untuk menghidupi ikan. Tapi juga menghidupkan ekonomi dan mandiri.
Dari kolam bioflok ini, semoga lahir keberkahan. Sebab air yang tenang pun bisa menghidupkan masa depan kalau di tangan orang yang memiliki keahlian. Bismillah!!!