
Ngopi Telur di Tanah Wakaf Padalaman Kalimantan
Setiap orang harus melewati tiga matra untuk sampai ke sana: darat, udara, laut, sambung darat lagi. Seolah ingin menguji: siapa yang serius, siapa yang setengah hati. Itu pun belum seberapa. Yang lebih berat adalah menyiapkan tenaga, pikiran, dan modal. Tapi jangan dulu bicara uang. Karena cerita ini bukan soal “mau kaya” tapi soal “mau berusaha”.
Lokasinya jauh dari segala yang disebut modern. Masih di Kalimantan bagian Timur. tepatnya di Desa Padang Pengrapat Pondok Pesantren Trubus Iman. Sebuah titik yang mungkin tak akan Anda temukan di brosur wisata, apalagi dalam radar investor ibu kota.
Tapi di sanalah di tanah wakaf itu sedang tumbuh masa depan dan harapan. Bukan dongeng. Bukan mimpi. Tapi kerja keras: siang-malam. Hening dari panggung-panggung seminar. Jauh dari tepuk tangan. Sangat besar.
Orang sering menyangka wakaf itu soal masjid, kuburan, atau sekolah gratis. Padahal tidak. Wakaf bisa dan harus dikelola seperti bisnis. Bahkan dengan rumus yang sama: efisiensi, keberlanjutan, dan profit. Kalau tidak untung, bagaimana bisa membantu dan bermanfaat untuk orang terus-menerus?
Di tanah wakaf Pesantren Trubus Iman, bisnis itu dirancang bukan sembarangan. Nazirnya tidak mikir sendiri. Mereka menggandeng para ahli. Orang-orang yang mengerti betul dunia pertanian, peternakan, mikrobiologi dengan segudang pengalaman. Fokusnya di pangan. Bayangkan: dunia boleh perang, teknologi boleh kacau, AI boleh menguasai dunia. Tapi orang tetap harus makan. Jadi ini gerakan yang tidak hanya untuk surga nanti. Tapi juga untuk bumi hari ini.
Maka yang dibangun adalah agri-industri. Ada agriteknologi. Ada agribisnis. Ada sistem. Ada skala. Ada ahli. Tidak modal niat baik, jargon dan papan nama.
Jangan kira ini proyek iseng. Minggu ini saja, mereka sedang mempersiapkan tiga hal sekaligus: mikroba untuk fermentasi pakan dan tanah, budidaya jamur merang tangkos yang bukan sembarangan, dan perikanan air tawar dengan pendekatan ekosistem berkelanjutan. Semua melibatkan pakar. Semuanya ilmu.
Kenapa mikroba? Karena tanah Kalimantan keras. Subur di permukaan, tapi cepat mati bila dipaksa. Maka harus dirawat. Dihidupkan. Dikelola. Pakai mikroba. Pakai otak. Juga biar kesburuan tanah tidak habis hanya untuk 7 turunan. Kasian.
Tapi semua ini bukan sekadar soal cuan. Ini soal kepercayaan. Karena yang dikelola adalah wakaf. Tanah umat. Aset abadi. Maka rumusnya bukan cuma ROI, tapi juga amanah.
Wakaf itu bisa salah urus. Bisa habis. Bisa rugi. Maka harus dikelola seperti perusahaan profesional. Tapi dengan hati. Juga tidak cukup dengan satu hati. Harus hati-hati.
Itulah kenapa tenaga, pikiran, dan modal harus diolah bersama. Harus diasah. Harus disatukan. Bukan cuma demi keberhasilan proyek, tapi juga demi keberkahan.
Saya tidak tahu apakah para investor akan tertarik datang ke tanah perjuangan. Tapi saya tahu satu hal: kalau wakaf bisa dikelola seperti ini, umat punya harapan baru.
Bukan dari kota. Tapi dari pedalaman. Dari tanah yang dipijak tiga matra. Untuk menghidupi banyak jiwa. Bersama tanah wakaf, hal yang mustahil pun akan Allah wujudkan dengan caraNya yang lebih mustahil!. Berat memang. Tapi dengan segelas kopi telor pagi semuanya bisa teruraikan. Tertarik???